Minggu, 06 September 2015

Cerita Rakyat Kalimantan Tengah (Asal Desa Sapundu Hantu)





Kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah terkenal dengan falsafah rumah betangnya, setiap pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga dilakukan secara handep haruyung atau bergotong-royong. Demikianlah pula halnya dengan perilaku penduduk di hulu sungai Seruyan, di sebuah dusun pedalaman pada zaman dahulu kala, di saat musim menanam padi di ladang.

Tradisi bergantian menanam itu dilakukan oleh sebuah keluarga, yang kini giliran lahannya untuk ditanami, karena pada hari-hari sebelumnya ia sudah membantu di lahan keluarga lain. Warga dusun pun berangkat dengan perahu menyeberang sungai menuju ke ladang, tidak terkecuali anak-anak kecil juga dibawa serta dari pada ditinggalkan di rumah, sebab tidak ada yang menjaganya.

Di ladang itu ada sebuah gubug, maka ditinggalkanlah kedua anak laki-laki dari keluarga yang ditanami ladangnya itu oleh orang tuanya. Keduanya masih tanggung untuk dibawa bekerja, karena baru berusia empat dan tiga tahun. Mereka berdua dipesani agar jangan jauh bermain serta tetap berada di gubug. Orang-orang itu, tua dan muda, lalu sibuk bekerja sambil bersenda-gurau, kadang diselingi dengan gelak tawa untuk menghilangi rasa lelahnya.

Sementara itu kedua anak pemilik ladang tadi asyik bermain. Tiba-tiba mereka melihat seekor belalang besar hinggap di dekat mereka. Kedua anak itu heran melihat bentuk belalang itu yang agak lain dari biasanya, keanehannya adalah warna sayapnya yang berwarna-warni dan kepalanya seperti raut muka manusia. Berhentilah kedua anak itu bermain dan sepakat untuk menangkap belalang tersebut.

Keduanya mencoba menangkapinya namun gagal, sebab belalang itu melompat dan hinggap di daun pada semak-semak dekat gubug. Mereka turun dari gubug, penasaran mengejar untuk menangkapnya dan senantiasa gagal. Saking asyiknya mengejar, sementara belalang itu selalu dapat meloloskan diri. Tanpa keduanya menyadari mereka sudah berada di tepi sungai.

Sang kakak lalu berkata : “Sulit untuk kita menangkapnya, baiknya kita pukul saja dengan ranting kayu”. Kebetulan di tempat itu ranting kayu mudah diperoleh, bekas tebangan pohon kecil, jalan untuk ke ladang. Dalam satu kali pukulan saja kenalah belalang itu lalu jatuh ke tanah, belalang itu mati.

Kemudian bangkai belalang itu dipungut sang adik seraya membentangkan sayapnya, sementara sang kakak memperhatikan bangkai belalang itu sambil menusuk mukanya dengan ranting.

Kemudian keduanya turun ke tepi sungai, membenamkan bangkai belalang itu beberapa kali ke dalam air sungai. Karena asyiknya mempermainkan belalang itu, tanpa mereka sadari belalang tersebut berubah wujud, sayapnya perlahan-lahan berubah menjadi seperti tangan manusia.

Sang kakak ternyata melihat hal itu dan berkata : “Dik, cepat lepaskan. Mari kita pulang ke gubug !” Belalang itu ternyata adalah seorang jin penghuni hutan di sekitar ladang itu.

Badannya yang besar dan berwarna kemerah-merahan dengan mukanya yang remuk karena tusukan anak yang tertua tadi, masih dapat berucap dan mengutuk semoga semua mereka yang berada di ladang itu mati disambar petir.

Maka datanglah angin ribut disertai guntur dan petir, suasana menjadi gelap. Kedua anak tersebut telah sampai di gubug sambil berteriak memanggil orang tuanya serta semua mereka yang bekerja itu : “Ayah ! Ibu ! Tolong pulanglah semuanya !”

Melihat cuaca yang berubah itu mereka yang sedang bekerja di ladang serentak berhenti dan berlarian pulang menuju ke arah gubug. Hampir tiba, hanya beberapa langkah lagi ke gubug, bersamaan dengan itu pula sebuah petir yang besar menyambar mereka dan gubug itu. Sesaat langit menjadi gelap pekat dan ….. gubug itu dengan dua orang anak berada di dalamnya serta gerombolan orang banyak yakni orang tuanya dan warga dusun yang bergotong-royong tadi tertutup bongkahan batu besar, semuanya terkurung namun masih hidup. Angin bertiup kencang diiringi hujan lebat.

Tidak berapa lama kemudian langit menjadi terang, hujan badai dan angin ribut tiba-tiba menghilang. Mereka yang ada di dalam gundukan batu berteriak saling memanggil dan meminta tolong.

Orang-orang di dusun tidak kalah kagetnya menghadapi perubahan cuaca itu. Mereka lalu keluar dari rumahnya dan teringat pada keluarga mereka yang handep haruyung di ladang. Dengan serempak mereka menyeberang.

Setibanya di seberang mereka mendengar jeritan serta teriakan meminta tolong, bergegas mereka menuju ke ladang. Suara itu semakin jelas. Alangkah terperanjatnya mereka karena terlihat di sana ada dua buah batu besar dan suara jeritan serta teriakan tersebut berasal dari dalamnya.

Sebagian lalu berusaha memecahkan kedua gundukan batu itu dengan palu, namun tidak berhasil karena sangat besarnya. Sedang yang lainnya memahat membuat lubang untuk mengeluarkan orang-orang itu.

Batu tersebut sudah berlubang seukuran badan manusia, mereka melihat tubuh orang-orang yang berada di dalam batu berwarna agak hitam dan kemerah-merahan karena bekas disambar petir itu.

Kemudian mereka berusaha untuk mengeluarkannya, namun hanya mampu sebatas kepala dan bahu yang keluar, karena lubang tersebut perlahan-lahan menyempit kembali, sehingga terpaksa didorong ke dalam lagi agar tidak terjepit.

Semua warga bergantian kembali memahat kedua gundukan batu itu, tetapi sesudah lubang sebesar tubuh manusia, kembali menyempit dan hanya tersisa sebesar kepalan tangan. Mereka pun jadi putus asa. Sementara itu sebagian warga balik ke dusun mengambil makanan dan mengabarkan kejadian itu kepada warga yang lain.

Seorang warga bertanya lewat lubang pada mereka yang berada dalam gundukan batu yang terbesar : “Hei pahari (saudara) apa gerangan sebabnya hingga terjadi seperti ini ?”

“Entahlah, aku pun tidak tahu. Hanya kudengar suara kedua anakku yang berteriak meminta kami semua untuk pulang ke gubug. Aku tak sempat menanyainya, ketika hampir sampai ke gubug kami disambar petir dan terkurung dalam batu seperti ini. Coba kalian tanya saja pada anakku”, kebetulan yang menjawab adalah ayah kedua anak itu sendiri.

Sambil menangis dan berteriak-teriak kedua anak yang terkurung di gubug yang kini telah berubah menjadi batu menceriterakan asal mula kejadiannya. Maka tahulah mereka bahwa keluarga tersebut saluh (tubuh atau tempat di sekitar seseorang berubah menjadi batu) kena kutukan jin penunggu hutan sekitar tempat itu.

Warga berdatangan membawakan makanan, namun hanya bisa diletakkan di depan lubang, dan mereka yang berada di dalam kedua gundukan batu itu hanya dapat mengambilnya dengan mengulurkan tangannya.

Sanak saudara dari keluarga kedua anak itu dan warga dusun silih berganti menunggu di depan lubang batu, sambil mengadakan rangkaian upacara ritual serta membuat kotak atau rumah kecil dengan satu tiang di depan lubang pada kedua batu tersebut, sebagai tempat meletakkan makanan. Hari berganti hari dan setelah beberapa minggu kemudian, tidak terdengar lagi suara tangisan dari dalam kedua gundukan batu itu.

Keluarga mereka dan segenap warga dusun menganggap bahwa mereka yang ada di dalamnya sudah meninggal semua. Seluruh warga dusun dan terlebih-lebih keluarga dua anak tadi berkabung sangat sedihnya, dan kabar ini pun tersebar hingga ke desa-desa tetangga.

Di depan kedua lubang batu tersebut dibuat keramat tempat menaruh sesajen, sementara di kampung pada setiap rumah warga dusun yang anggota keluarganya ikut saluh saat handep haruyung itu, dibuatkan sapundu (patung kayu) sesuai jumlah orang yang terkurung dalam bongkah batu tersebut.

Bukit di seberang dusun dimana terletak kedua bongkahan batu itu dinamakan bukit Sakajang, dan sampai sekarang keluarga keturunan yang saluh dalam batu itu tetap memberikan sesajen di dalam keramat sebagai bentuk rasa duka dan belasungkawa yang tiada habisnya.

Warga dusun itu yang lama kelamaan berkembang menjadi sebuah desa menamakan tempat mereka itu Sapundu Hantu (dalam bahasa Dayak Ngaju hantu berarti mayat) sampai sekarang. Desa Sapundu Hantu kini termasuk dalam wilayah kecamatan Seruyan Hulu kabupaten Seruyan.

2 komentar:

  1. Saya sangat senang membaca cerita rakyat dari kalimantan tengah karna it menambah pengetahuan

    BalasHapus
  2. Mau tau cerita yang sebenarnya ini saya dari desa sepundu hantu dan saya adalah keturunan dari kedua anak yang kesalahan tersebut kalian pasti nada tau siapa nama mereka berdua dan siapa nama orang tuanya dan masih masih mau cerita sepundu hantu yang menarik lainnya bahkan dekat kejadian tersebut tempatnya bapak cilik Riwut bertapa

    BalasHapus