Minggu, 06 September 2015

Cerpen Terbaik : I LOST MY MIND




Pukul 23.30
Vigna terkantuk-kantuk di minimarket tempat ia bekerja sambilan. Pagi hari ia sibuk bekerja di restoran Mie China yang tak jauh dari rumahnya. Belum lagi pekerjaannya sebagai loper Koran. Ya. Ia hidup sebatang kara. Dia lahir sebagai yatim piatu, dibesarkan di panti asuhan. Makanya, yang bisa menghidupinya dan menafkahinya hanya dia sendiri.

Sesekali ia tertidur, namun dengan cepat ia bangun lagi. Di minimarket itu, dia memang selalu mendapatkan shift malam. Dan itu sering terjadi. Ada beberapa pengunjung yang iba melihatnya, dan memberi saran untuk berhenti dari pekerjaannya dan menyuruhnya untuk banyak istirahat. Tapi itu semua hanya dibalasnya dengan senyuman.

Pemilik minimarket, manager minimarket dan karyawan lain sudah sering menegurnya, tapi ia tetap bertekad melanjutkan pekerjaannya. Dia benar-benar ingin menopang kehidupannya yang sudah hancur berkeping-keping karena masa lalunya. Ia ingin memperbaiki masa lalunya dengan mengubah jalan hidupnya untuk lebih tegar daripada sebelumnya, tanpa harus merubah dirinya menjadi orang lain.
Dan… malam itu…
“Vigna!!!” terdengar jelas gemeretak gigi menahan geram yang mengerikan dari seorang lelaki paruh baya bertubuh gemuk. Spontan, mata Vigna terbuka lebar dan berdiri tegap, menundukkan kepala.
“maaf tuan…” bibirnya bergetar.
“lebih baik sekarang kau pulang, kusuruh karyawan lain menggantikan kau….” Ya. Pemilik minimarket sepertinya sudah terbiasa dengan keadaan itu hingga ia bisa sedikit mengatur emosinya saat menghadapi Vigna. Biasanya, ia akan mengumpat dan mengata-ngatai Vigna.
“tapi… tuan….”
“tidak ada tapi-tapi… lebih baik kau istirahat hari ini…”
“baiklah tuan….” Vigna melangkah gontai keluar minimarket itu. Ia memakai topi hitamnya, jaket abu-abunya, dan mengambil sepedanya yang ia parkir di samping minimarket. Bergegas mengayuh sepedanya.
Namun tiba-tiba, ia melihat pemandangan yang tak mengenakkan. Seorang lelaki berlari dengan kencang, dikejar oleh 5 mobil sekaligus. Mungkin lelaki itu dikejar oleh Geng pembalap mobil.
“satu lawan lima, berlari sekencang apapun mana mungkin bisa kabur??” ucap Vigna ikut panik. Ia memutuskan untuk menolong lelaki itu. Ia mengayuh sepedanya sekencang mungkin. Sampai di tikungan, roda depannya aus, roda belakangnya bocor.
“Sial!!!” Vigna kelelahan, namun ia tak menyerah. Ia menoleh ke kanan, ke kiri, mencari-cari benda yang sekiranya dapat membuatnya bergerak cepat.
Yap!! Tepat!! Ia melihat sebuah skateboard berwarna hijau pupus disandarkan di tembok sebuah toko. “anak muda!! Pinjam skateboard-mu ya!!”
Tanpa perkataan “ya”, Vigna mengambil skateboard itu dan segera mengikuti arah kejar-kejaran mobil yang ia lihat tadi. “hei!!! Siapa yang kau maksud anak muda???” pemilik skateboard yang baru saja membeli snack dan menggenggamnya di tangan kanan itu marah. Vigna tak mempedulikannya.

Ia menggunakan skateboard itu dengan lihai. Untungnya di jalanan yang sepi karena sudah malam.
Ia sudah berhasil menyusul kawanan pembalap mobil. Tak jauh dari tempatnya bermain skateboard. Sayangnya, saat ia berusaha menghampiri lelaki yang kebingungan itu, lagi-lagi rodanya aus. Skateboard yang ia gunakan membuatnya tergelincir.Vigna mengernyit, menahan sakit pada tulang ekornya karena terjatuh ke aspal.

“bukan saatnya mengeluh Vigna!!” ia membentak dirinya sendiri. Ia segera bangkit dan berlari menghampiri lelaki yang kebingungan itu, yang sedang mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
Vigna menghampirinya, lalu menggenggam tangan lelaki itu kuat. Spontan, lelaki itu menatap mata Vigna. Dan, Vigna menarik tangan lelaki itu ke tepi jalan, dan mengajaknya menyusuri gang sempit yang tak jauh dari tempatnya. Lalu, mobil-mobil yang mengejar lelaki itu terdengar berderu sangat keras, menandakan kekesalan hati mereka. Perlahan, suara mobil mereka lenyap. Mungkin mereka sudah lelah mengejar lelaki itu.
“trimakasih” , dengan nafasnya yang tersengal-sengal  ucap lelaki itu tersenyum menatap garis wajah gadis yang ia cintai sejak mereka masih berumur 7 tahun.
“ya… tak apa…” Vigna membalas senyumannya.
            ‘ternyata Vigna tidak mengingat ku’
“siapa namamu?” jawab aldo lagi mengalihkan
“Vigna”
“oh nama yang langka…” lelaki itu masih sibuk mengatur nafasnya. “Ah ya namaku Aldo”
“mmm.. lucu” Vigna tersenyum. ‘ahh.. lagipula orang banyak bernama Aldo’ pikirnya dalam hati
Vigna familiar dengan nama itu, ia tidak mengingat lagi dengan wajah Aldo yang sekarang sudah berumur 20 tahun tapi dia hanya diam tidak ingin sembarang tebak karena sejujurnya ia juga sangat merindukan sahabat kecil nya yang bernama Aldo.
 “ngomong-ngomong,” Vigna berucap. “kenapa mereka mengejarmu dengan mobil?”
“begini… aku dulu bagian dari mereka… lalu aku memutuskan untuk berhenti, karena aku pikir, apa yang kulakukan bersama mereka hanyalah buang-buang waktu. Tapi, mereka tidak setuju dan mereka berniat membuatku menderita.”
“dasar egois”
“ya, begitulah” Aldo mengalihkan pembicaraan. “aku kira sudah aman. Aku pulang ya…”
“iya…”
“dimana rumahmu??”
“uhm…” Vigna berpikir. Ia melihat sekelilingnya. Ya. Lingkungan itu tak asing baginya. “rumahku dekat sini kok… masuk ke gang ini juga…”
“oh , baiklah”
Vigna hanya membalasnya dengan senyum dan anggukan.
Baru beberapa langkah Vigna melangkahkan kaki menuju rumahnya, ia mendengar suara mobil berderu kencang, lalu suara rem yang memekakkan telinga, disusul suara seperti tabrakan antara mobil dan orang, dan serangkaian suara gaduh itu di akhiri suara mobil yang melaju kencang. Melarikan diri.

“Aldo?” ucap Vigna. Ia berlari menyusuri gang sempit itu lagi, berjalan menuju jalan raya, dan…. Ia melihat Aldo sudah terbaring disana dengan darah bercucuran di pelipis kanannya.
“oh, tidak…”
~***~
Setelah Vigna menghubungi ambulans dan membawa Aldo ke rumah sakit terdekat, ia menunggu Aldo di ruang tunggu. Berkali-kali ia menggerak-gerakkan kakinya, berusaha menghilangkan rasa paniknya. Tapi tak berhasil.
“kenapa aku sepanik ini?” gumamnya. “bukankah aku baru mengenalinya?”
Vigna melihat perawat yang menangani Aldo keluar ruang UGD. Ia bergegas menghampirinya.
“E… ba….”
“bagaimana keadaan adikku Suster?”
Ada yang mendahului Vigna berbicara. Lelaki tinggi, rambut disisir menyamping, tampan. Vigna hanya terpaku karena didahului orang lain dalam hal ini. Ia hanya terdiam mendengarkan penuturan perawat dengan seksama.
“terjadi pendarahan di kepalanya. Tapi sudah kami tangani. Untuk keterangan lebih lanjut, bisa anda tanyakan pada dokter nantinya.”
“baik. Trimakasih…” ucap lelaki itu sangat santun. Lalu, saat perawat memalingkan diri, lelaki itu kembali menanyakan sesuatu hal pada perawat itu. “eh, iya, siapa yang mengantarkan adikku ke rumah sakit ini?”
Perawat itu melihat Vigna sekilas, lalu memberitahu lelaki itu, “nona yang memakai jaket abu-abu dan topi hitam itu, tuan.”
“baik, sekali lagi terimakasih.”
Perawat itu berlalu. Dan, kakak Aldo itu berjalan menghampiri Vigna. “trimakasih ya…”
Vigna hanya mengangguk pelan sambil menyunggingkan seyuman manis nya.
“ayo duduk…”
Vigna pun duduk.
“namaku Renald. Siapa namamu?”
“Vigna” jawab Vigna singkat
“oh nama yang manis” Vigna hanya tersenyum
Renald menghela nafas berat, seolah berusaha melepaskan seluruh beban hidupnya. “semoga dia tak apa ya?”
Sekali lagi, Vigna hanya mengangguk.




Beberapa saat menunggu, dokter yang menangani Aldo pun keluar dari UGD.
“dokter” Renald segera menghampirinya. “bagaimana keadaan adik saya?”
Dokter itu hanya menghela nafas, lalu berkata, “berat mengatakannya tuan….”
“kenapa?”
“benturannya sangat keras hingga ia mengalami amnesia….”
“maksudnya….”
Dokter itu mengangguk cepat, seolah tahu apa yang akan dikatakan Renald. “lupa ingatan.”
Renald terlihat kesal akan kenyataan. “baiklah. Boleh aku menjenguknya?”
Dokter itu hanya mengangguk, lalu berpaling. Sebelum Renald masuk ruangan, ia menghubungi orang tuanya untuk segera menjenguk Aldo di rumah sakit.
“Vigna… kau mau menjenguknya?” Renald mengajaknya.
“Bolehkah?” ucap Vigna ragu.
“kalau tidak boleh, mengapa aku menawarkannya?”
Vigna mengangguk, lalu mengikuti Renald memasuki ruang UGD.
“siapa kalian?” tanya Aldo. Dilanjutkan beberapa pertanyaan yang membuat Renald dan Vigna bingung menjawabnya.
“Aldo….” Mereka menoleh ke arah pekikan suara yang terdengar parau itu. “apa yang terjadi padamu nak??”
Renald dan Vigna menjauh dari Aldo, memberikan ruang gerak yang leluasa bagi ayah dan ibu Aldo,
“kalian siapa? Aku tidak ingat apa-apa….” Ucap Aldo.
Ibu Aldo menangis sejadi-jadinya. Ayah Aldo hanya menatap anak bungsunya Pilu.
“dasar!!” ucap Renald lirih. “kalau sudah begini, baru mau datang!! Apa aku harus kecelakaan dan lupa ingatan juga supaya dapat perhatian?? Kalian orang tua macam apa??”
“apa?” ucap Vigna ketika mendengar gumaman Renald. “kau tadi bilang apa?”
“ah, tidak,” Renald mengalihkan perhatian. “ayo kita cari angin, kita beri mereka waktu untuk merenungi keadaan.”
“ya.” Vigna dan Renald pun keluar ruangan, membiarkan Aldo bersama dengan kedua orang tuanya.
~***~
           
“Ahh!!!” Vigna berteriak spontan ketika pipinya merasakan dingin. ketika Renald menempelkan kaleng minuman yang baru ia beli ke pipi Vigna. Renald tersenyum nakal.
“untukmu.”
Vigna menerimanya, lalu membuka kaleng minumannya. “trimakasih.”
Mereka pun duduk di teras depan Rumah sakit itu.
“mau kuceritakan cerita menarik?” tanya Renald.
“boleh…” ucap Vigna.
“tapi, jangan ceritakan ini pada orang lain. Cerita ini hanya diketahui oleh aku, Aldo, dan kau.”
Vigna terlihat bingung, tapi ia menjawabnya dengan anggukan.
“hubunganku dan Aldo sangat akrab dari dulu. Kami seperti kembar walaupun bukan kembar. Kami tak terpisahkan. Namun semuanya berubah saat aku kelas 6 SD. Saat itu Aldo masih kelas 4 SD.”
“kenapa?”
“ya. Ayah sibuk dengan pekerjaannya, ibu juga sibuk dengan pekerjaannya. Lalu, sering terjadi pertengkaran hebat di antara mereka. Dan, pada suatu ketika, Ayah menampar ibu.”
Refleks, Vigna memegang pipinya.
“dan, merekapun cerai. Aku ikut Ayah, Aldo ikut ibu. Seperti yang kuceritakan tadi, aku dan Aldo sangat akrab. Begitu harus berpisah, kami merasa hampa karena kami terbiasa mengisi satu sama lain.”
Vigna merasa iba.
“maka dari itu, kami hidup dengan penuh putus asa. Aldo ikut balapan liar, sering menghamburkan uang demi narkoba, dan semacamnya. Tapi dia sudah keluar dari rehabilitasi dan memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar.”
“kau sendiri… pernah seperti itu?”
“tentu saja pernah. Aku juga sering ke club malam, bermain dengan wanita….” Renald tersenyum. “tapi itu juga sudah berakhir. Aldo yang menyadarkanku. Entah kenapa, ia jadi berubah setelah keluar dari rehabilitasi. Yah,… aku bangga padanya karena sekarang ia sudah berubah menjadi lebih dewasa. Tapi… setelah ia berubah menjadi dewasa seperti itu, ia malah amnesia.”
Vigna dan Renald menghela nafas berat bersama. Menyadari hal itu, keduanya tertawa.
Lalu, Vigna bertanya, “kenapa kau menceritakan cerita pilu ini padaku?”
“Entahlah,” Renald meminum minumannya, lalu berucap, “kelihatannya kau orang yang baik…”
Vigna hanya menjawabnya dengan senyuman.
“bagaimana denganmu?” tanya Renald. “pernah mengalaminya?”


“untungnya, tidak pernah….”
“ya.. hanya segelintir orang yang mengalami nasib seperti kami. Kau harus bersyukur karena memiliki orang tua yang sayang padamu..” potong Renald.
“bukan… bukan begitu,” sergah Vigna. “aku tak pernah mengalaminya karena aku tak punya orang tua. Aku yatim piatu, dibesarkan di panti asuhan. Sekalinya mendapat orang tua asuh, mereka orang yang tak beres.”

“oh… maaf… aku tidak tahu.”
“tak apa,” Vigna kembali tersenyum.
“besok, jangan lupa jenguk Aldo ya?”
“kenapa?” Vigna heran. “aku baru kenal dengannya. Bahkan dia amnesia. Buat apa aku menjenguknya?”
“setelah di rehabilitasi, ia selalu berteman dengan orang baik.”
“jadi, menurut kau, aku orang yang baik?”
Renald menjawabnya dengan anggukan. Ia menghirup angin malam, lalu mengangkat wajahnya, menatap cahaya bintang di langit.
“cahayanya indah ya?”
Vigna mengangkat wajahnya, menatap bintang di langit pula. Ia tersenyum dan menjawab, “ya.”
~***~
Renald menjaga adiknya semalaman. Ia tidur di samping adiknya, sambil memegangi tangannya.
“kakak” ucap Aldo lirih.
Renald terbangun dari tidurnya, lalu menatap wajah adiknya. “kau sudah sadar?” Renald membersihkan matanya.
“aku ingat semuanya.”
“Hah??!!” Renald terperanjat kaget. “maksudnya?”
“namamu Renaldi kan? Namaku Rinaldo, biasa di panggil Aldo. Kita berada dalam keluarga yang hancur kan?”
Renald termenung. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia menelan ludah. “kenapa?”
“aku tidak tahu.” Ucap Aldo. “aku sangat ingin kehilangan ingatanku. Aku ingin membuang semuanya yang ada dipikiranku akan masa laluku yang kelam. Tapi ternyata, aku tidak melupakannya. Semua masih membekas dalam pikiranku dengan jelas.”
“tapi, kenapa dokter bilang…”

“aku yang menyuruhnya bilang begitu. Supaya orang tua kita bisa tahu, mereka telah gagal menjadi orang tua yang baik,” Aldo berhenti sejenak. “mereka hanyalah pecundang.”
“Aldo” Ucap Renald. “jangan begitu. Mereka orang tua kita.”
“bagaimana menurut kakak tentang orang tua kita? Dengan suara keras mereka bertengkar, mementingkan ego masing-masing, tak peduli anaknya yang masih kecil menangis tersedu-sedu saat mendengar teriakan mereka. Mereka kalah dengan ego masing-masing. Mereka tak bisa menahan diri. Mereka tak mampu berpikir, ‘bagaimana jika anakku terluka karena pertengkaran kami?’ atau ‘bagaimana jika mereka membenci kami karena ke-egois-an kami?”
“kau tidak tahu….”
“ya, mungkin aku tidak tahu,” ucap Aldo memotong perkataan Renald. “tapi ini yang aku rasakan, kak. Aku membenci mereka. Bukankah, kau juga membenci mereka?”
“ya.”
Mereka termenung. Suasana hening.
~***~
 “Vigna….” Ucap Renald, melihat Vigna datang ke rumah sakit untuk menjenguk Aldo. Sekitar jam 4 sore.
Vigna hanya tersenyum sambil melambaikan tangan, lalu berlari menghampirinya.
“masuklah… Aldo mencarimu…” Renald tersenyum menggoda.
“apa?” Vigna heran. “mencariku?”
Renald mengangguk.
Vigna memasuki ruangan. Ia melihat Aldo duduk di ranjangnya sambil mengupas apel. Vigna termenung, berdiri terpaku. “ternyata, ia tampan ya?” gumamnya.
Beberapa saat, Aldo menyadari keberadaannya. Ia melihat kearah pintu, dan menemukan Vigna mematung di depannya. Ia memberikan senyuman manisnya untuknya. “kenapa mematung di situ? Sini…”
Terbuyarkan lah lamunan Vigna. Ia pun mendekati Aldo. Duduk disampingnya. “kau mencariku?”
“ya. Sebentar….” Aldo memotong-motong buah apel itu menjadi 8 bagian, menaruhnya di piring kecil, lalu memberikannya pada Vigna. “ambillah….” Ia juga mengambil salah satu apel itu dan memakannya.
Vigna hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.
“aku ingat semuanya…”
“apa?”
“aku ingat semuanya. Namamu Vigna kan? Nama asliku Rinaldo, nama kakak ku Renald… aku juga berasal dari keluarga yang hancur…”


“ah.. jangan bergurau…” Vigna tersenyum mengejek, tak percaya.
“aku juga masih ingat bagaimana kita bertemu….” Aldo berusaha meyakinkan. “bagaimana?” tantang Vigna.
“aku dikejar-kejar oleh 5 mobil di jalan raya,… tengah malam itu. Lalu kau menolongku, menarik tanganku menuju gang kecil. Saat aku keluar, aku di tabrak oleh temanku balap mobil yang memakai mobil putih. Iya kan?”
“bagaimana mungkin?” Vigna masih tak percaya. “kata dokter, kau….”
“aku menyuruhnya berbicara begitu.” Ucap Aldo santai.
“hei… semua orang mengkhawatirkanmu….”
“biarkan. Biar orang tuaku tahu, mereka telah gagal menjadi orang tua yang baik. Mereka tak pernah memperhatikan anaknya penuh kasih sayang… “
“bodoh!!” ucap Vigna. “bagaimana jika kau benar-benar lupa ingatan?? Kau ingin itu terjadi?? Hah??”
“kalaupun sungguhan lupa juka tak apa. itu yang ku inginkan.” Ucap Aldo dengan ekspresi wajah datar. “kau tahu apa yang ku ucapkan dalam hatiku, sesaat sebelum aku tak sadarkan diri pada kecelakaan malam itu?”
Vigna hanya diam.
“yang aku ucapkan adalah, ‘terimakasih Tuhan, kau telah membantu keinginanku terwujud…. Untuk dapat melupakan kenangan pahit keluargaku’. Itu yang aku ucapkan penuh rasa syukur tadi malam.” Aldo menghela nafas berat. “tapi, saat aku sadar… aku malah masih ingat semuanya… aku sangat kecewa.”
“tapi.. jangan begitu… kau harus mau memaafkan mereka… bagaimanapun juga… mereka hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.. mereka tetap orang tuamu… harusnya kau bersyukur, masih mempunyai orang tua yang sayang padamu….”
“ya.. benar… tapi jika kau menjadi aku, atau kau menjadi kakak ku… kau akan memilih menjadi yatim piatu daripada memiliki orang tua seperti mereka.”
“apa kau tak takut jika orang tuamu tahu hal ini dan memarahimu?”
“tak apa mereka tahu, yang penting aku tak akan membiarkan mereka memarahiku. Yang pantas dimarahi atas kejadian seperti ini bukan aku, tapi mereka. Yang membuat aku dan kakak berbuat hal baik itu bukan diri kami sendiri, tapi mereka. Kalaupun kami punya mesin waktu, dan kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semua, itu jelas tak mungkin. Semua sudah berubah.”
“setidaknya satu hal yang tidak boleh berubah….” Ucap Vigna pelan. “kau harus tetap berada di jalanmu… jangan ubah dirimu untuk menjadi orang lain…”
Aldo diam. Ia berusaha meresapi kalimat yang di ucapkan Vigna. Saat itu, Vigna mengambil sepotong apel di piring kecil, lalu memakannya.
~***~
Perban kecil masih terbelit di pelipis kanan Aldo di hari kepulangannya. Ayah dan ibunya serta Renald mengantarnya pulang ke rumah ibunya.
“Renald….” Ucap ibunya lembut.
“ya?”


“khusus hari ini, menginaplah di rumah mama… temani adikmu itu….”
Renald menatap sekilas adiknya yang duduk di jok belakang, di samping ibunya, lewat kaca spion. Aldo hanya memberi tanda anggukan.
“baiklah , papah tak apa kan?”
Ayah Renald yang sedang menyetir itu hanya diam. Beberapa saat, ia hanya menjawab dengan anggukan.
Mobil berwarna hitam itu melaju dengan pesat. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di rumah ibu mereka. Saat ayah mereka akan pulang, Renald dan Aldo mencegahnya. “Papah”
Ia pun membalikkan badan, menatap mereka.
“jangan pulang dulu…” ucap Renald. “apa salahnya singgah sementara waktu di rumah mantan istrinya?”
“tapi….”
“Demi Aldo…” Renald berusaha meyakinkan. Akhirnya, Ayah dan ibu mereka luluh. Ayah mereka memasuki rumah mantan istri nya. Renald mendudukkan mereka berdampingan di sofa panjang di ruang keluarga.”
“sudah bisa kau mulai….” Ucap Renald pada adiknya. Aldo hanya mengangguk, lalu berdiri di depan mereka, mulai berbicara.
“pah… mah… sebenarnya, aku tidak Amnesia…”
“apa maksudmu, nak?” tanya Ayah nya.
“aku benar-benar ingat semuanya. Aku lahir tahun 1990, sementara kakak lahir tahun 1988, dulu kami sekolah di SD yang sama, aku juga ingat. papah alergi Keju, mamah alergi udang. Aku jga masih ingat bagaimana kalian berdua bertengkar….”
Aldo menarik nafas dalam-dalam… Lalu mengeluarkannya pelan. “aku juga masih ingat dengan perselingkuhan yang telah kalian berdua lakukan…..”
“cukup Nak!!!” Kata ayah nya berkata dengan nada tinggi. “cukup!!!”
“kenapa kau lakukan ini, Aldo?” ucap ibu mereka lembut. “kau sudah membuat semua orang khawatir.”
“oh.. jadi kalian masih bisa peduli dengan anaknya? Bagus kalau begitu…”
“Rinaldoo!!!” Ayah nya berusaha menahan amarah. “mulai kapan kau kurang ajar dengan orang tua seperti ini??”
“sejak papah dan mamah hanya mementingkan diri sendiri, mengabaikan anak-anaknya yang kini telah tumbuh dewasa, yang sudah mengerti betul apa arti kebencian yang sesungguhnya karena terbiasa melihat kekesalan dan amarah yang selalu terjadi dan terlihat di kedua mata kami. Karena ulah kalian…”


“berhenti omong kosong!!” ucap Ayah nya lagi.
“oh ya… pertanyaan mamah belum ku jawab. Kenapa kulakukan hal bodoh seperti ini? Ini karena papah dan mamah yang tak pernah memberi kami kasih sayang yang lebih. Aku hanya ingin memberitahu kalian, bahwa kalian telah gagal menjadi orang tua yang baik. Aku harap, jika aku Amnesia, aku bisa melupakan kebencian di masa lalu. Aku juga
berharap, kalian bisa merenungi kesalahan kalian, akibat dari itu semua kalian telah membuat kami, anak-anak kalian, berubah menjadi lebih buruk. Itu yang ingin aku lakukan. Tapi, nyatanya aku tidak Amnesia, bahkan kalian malah bertengkar lagi, dan masih saja mengedepankan ego masng-masing, tak mau mengakui kesalahan masing-masing….”
“harusnya kau tegur kami dengan baik nak… tak perlu berbohong seperti ini…” ibu nya menangis.
“kami sudah sering melakukannya,” kini Renald membantu adiknya. “tapi, kalian selalu menganggap kami adalah anak kecil yang tak perlu ikut campur urusan orang tua.”
“tapi….”
“karena kalian, kami sudah hampir kehilangan akal sehat kami. Semuanya terasa buruk di mata kami…”
“Ya…” ucap Aldo lirih. “We lost our mind… Because of You all….”
Ayah nya hanya diam. Orang yang hatinya keras itu kini menitikkan air mata. Ia menggenggam tangannya, berusaha menguatkan hatinya. Suasana hening. Yang terdengar jelas hanyalah suara isak tangis ibu mereka. Aldo dan Renald bertatapan.
“semoga ini berhasil….” Ucap Renald hanya dengan menggerakkan bibirnya, tanpa suara bisikan. Aldo membalasnya dengan anggukan, “semoga..”
~***~
“bagaimana kemarin? Sukses?” tanya Vigna saat berjalan berdua dengan Aldo di taman kota sambil menjilati Es Krim rasa strawberry kesukaannya.
“ya… sukses besar. Mereka mengucapkan kata maaf pada kami, lalu saling bermaafan, dan akhirnya rujuk…” ucap Aldo berseri-seri.
“Wooaahh… Selamat ya…” Senyum Vigna mengembang dengan manis di bibirnya yang merah.
“ya… tanpa rencanamu yang menyuruhku mengakui semua kebohongan yang aku lakukan, mungkin tu tak akan terjadi.”
“dan jangan lupa saat itu aku menolong mu sampai ban sepeda ku bocor” ucap Vigna sambil mengerucut kan bibir nya.
“Ah,ya… itu juga…” jawab Aldo sambil menyentilkan jari lentik nya kehidung Vigna
Vigna tertawa.
“ya.. trimakasih juga telah menyadarkanku.. bahwa aku harus menjadi diriku sendiri.. bukannya menjadi orang lain dengan cara berpura-pura menjadi amnesia seperti ideku semula. Untung saja aku bertemu denganmu. Aku senang, bisa di limpahi kebaikanmu….”


Vigna mengangguk sambil tersenyum. “untungnya semua berakhir dengan baik.”
“ya… tapi masih ada sesuatu yang membuatku bingung….” Ucap Aldo.
“apa?”
Aldo tersenyum, “I wanna say I love you” dan langsung memberikan Vigna sebuket bunga mawar merah segar. Yang tanpa diketahui Vigna bunga itu dibawa Aldo sejak tadi.
Pipi Vigna memerah. Ia tersenyum malu. Aldo melihat Vigna yang salah tingkah itu tertawa.
“jangan tertawa!!” pekik Vigna.
“iya iya… maaf….” Ucap Aldo.
“tapi.. benarkah itu?” tanya Vigna.
Aldo menatap mata Vigna dalam. Mata yang bulat nan hitam itu yang dulu membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. “ehm….”
Vigna membalas tatapan mata itu, dengan tatapan mata berharap, menunggu-nuggu jawaban yang membuatnya penasaran.
Aldo mengecup kening Vigna, lalu tersenyum pada Vigna, dan berkata, “ya….”
Aldo berjalan cepat mendahului Vigna, membiarkan Vigna berdiri mematung di tempatnya. Vigna masih kaget dengan kecupan itu. Ia hanya terdiam, beberapa saat kemudian, tersenyum.
Vigna memutuskan untuk mengejar Aldo, “hey… tunggu…”
Aldo berhenti berjalan , yang membuat badan Vigna Menubruk nya sehingga mereka hampir terjatuh. Suasana menjadi canggung. “ Jawaban nya apa? “ tanya Aldo berusaha mencairkan suasana “I love you too“ senyum manis kembali mengambang di bibir Vigna , yang membuat Aldo tertawa.

END


 Selesai ditulis tanggal : 21/02/14 08.00 p.m

Tidak ada komentar:

Posting Komentar