Pukul 23.30
Vigna terkantuk-kantuk di minimarket tempat ia bekerja sambilan. Pagi
hari ia sibuk bekerja di restoran Mie China yang tak jauh dari rumahnya. Belum
lagi pekerjaannya sebagai loper Koran. Ya. Ia hidup sebatang kara. Dia lahir
sebagai yatim piatu, dibesarkan di panti asuhan. Makanya, yang bisa
menghidupinya dan menafkahinya hanya dia sendiri.
Sesekali ia tertidur, namun dengan cepat ia bangun lagi. Di minimarket
itu, dia memang selalu mendapatkan shift malam. Dan itu sering terjadi. Ada
beberapa pengunjung yang iba melihatnya, dan memberi saran untuk berhenti dari
pekerjaannya dan menyuruhnya untuk banyak istirahat. Tapi itu semua hanya
dibalasnya dengan senyuman.
Pemilik minimarket, manager minimarket dan karyawan lain sudah sering
menegurnya, tapi ia tetap bertekad melanjutkan pekerjaannya. Dia benar-benar
ingin menopang kehidupannya yang sudah hancur berkeping-keping karena masa
lalunya. Ia ingin memperbaiki masa lalunya dengan mengubah jalan hidupnya untuk
lebih tegar daripada sebelumnya, tanpa harus merubah dirinya menjadi orang
lain.
Dan… malam itu…
“Vigna!!!”
terdengar jelas gemeretak gigi menahan geram yang mengerikan dari seorang
lelaki paruh baya bertubuh gemuk. Spontan, mata Vigna terbuka lebar dan berdiri
tegap, menundukkan kepala.
“maaf tuan…”
bibirnya bergetar.
“lebih baik
sekarang kau pulang, kusuruh karyawan lain menggantikan kau….” Ya. Pemilik minimarket
sepertinya sudah terbiasa dengan keadaan itu hingga ia bisa sedikit mengatur
emosinya saat menghadapi Vigna. Biasanya, ia akan mengumpat dan mengata-ngatai
Vigna.
“tapi… tuan….”
“tidak ada
tapi-tapi… lebih baik kau istirahat hari ini…”
“baiklah tuan….”
Vigna melangkah gontai keluar minimarket itu. Ia memakai topi hitamnya, jaket
abu-abunya, dan mengambil sepedanya yang ia parkir di samping minimarket.
Bergegas mengayuh sepedanya.
Namun tiba-tiba,
ia melihat pemandangan yang tak mengenakkan. Seorang lelaki berlari dengan
kencang, dikejar oleh 5 mobil sekaligus. Mungkin lelaki itu dikejar oleh Geng
pembalap mobil.
“satu lawan lima,
berlari sekencang apapun mana mungkin bisa kabur??” ucap Vigna ikut panik. Ia
memutuskan untuk menolong lelaki itu. Ia mengayuh sepedanya sekencang mungkin.
Sampai di tikungan, roda depannya aus, roda belakangnya bocor.
“Sial!!!” Vigna
kelelahan, namun ia tak menyerah. Ia menoleh ke kanan, ke kiri, mencari-cari
benda yang sekiranya dapat membuatnya bergerak cepat.
Yap!! Tepat!! Ia
melihat sebuah skateboard berwarna hijau pupus disandarkan di tembok sebuah
toko. “anak muda!! Pinjam skateboard-mu ya!!”
Tanpa perkataan
“ya”, Vigna mengambil skateboard itu dan segera mengikuti arah kejar-kejaran
mobil yang ia lihat tadi. “hei!!! Siapa yang kau maksud anak muda???” pemilik
skateboard yang baru saja membeli snack dan menggenggamnya di tangan kanan itu
marah. Vigna tak mempedulikannya.
Ia
menggunakan skateboard itu dengan lihai. Untungnya di jalanan yang sepi karena
sudah malam.
Ia sudah berhasil menyusul kawanan pembalap mobil. Tak jauh dari
tempatnya bermain skateboard. Sayangnya, saat ia berusaha menghampiri lelaki
yang kebingungan itu, lagi-lagi rodanya aus. Skateboard yang ia gunakan
membuatnya tergelincir.Vigna mengernyit, menahan sakit pada tulang ekornya
karena terjatuh ke aspal.
“bukan saatnya mengeluh Vigna!!” ia membentak dirinya sendiri. Ia
segera bangkit dan berlari menghampiri lelaki yang kebingungan itu, yang sedang
mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
Vigna
menghampirinya, lalu menggenggam tangan lelaki itu kuat. Spontan, lelaki itu
menatap mata Vigna. Dan, Vigna menarik tangan lelaki itu ke tepi jalan, dan
mengajaknya menyusuri gang sempit yang tak jauh dari tempatnya. Lalu,
mobil-mobil yang mengejar lelaki itu terdengar berderu sangat keras, menandakan
kekesalan hati mereka. Perlahan, suara mobil mereka lenyap. Mungkin mereka
sudah lelah mengejar lelaki itu.
“trimakasih” , dengan nafasnya yang
tersengal-sengal ucap lelaki itu
tersenyum menatap garis wajah gadis yang ia cintai sejak mereka masih berumur 7
tahun.
“ya… tak apa…” Vigna membalas
senyumannya.
‘ternyata
Vigna tidak mengingat ku’
“siapa namamu?” jawab aldo lagi
mengalihkan
“Vigna”
“oh nama yang langka…” lelaki itu
masih sibuk mengatur nafasnya. “Ah ya namaku Aldo”
“mmm.. lucu” Vigna tersenyum.
‘ahh.. lagipula orang banyak bernama Aldo’ pikirnya dalam hati
Vigna familiar dengan nama itu, ia
tidak mengingat lagi dengan wajah Aldo yang sekarang sudah berumur 20 tahun
tapi dia hanya diam tidak ingin sembarang tebak karena sejujurnya ia juga
sangat merindukan sahabat kecil nya yang bernama Aldo.
“ngomong-ngomong,” Vigna berucap. “kenapa
mereka mengejarmu dengan mobil?”
“begini… aku dulu bagian dari
mereka… lalu aku memutuskan untuk berhenti, karena aku pikir, apa yang
kulakukan bersama mereka hanyalah buang-buang waktu. Tapi, mereka tidak setuju
dan mereka berniat membuatku menderita.”
“dasar egois”
“ya, begitulah” Aldo mengalihkan
pembicaraan. “aku kira sudah aman. Aku pulang ya…”
“iya…”
“dimana rumahmu??”
“uhm…” Vigna berpikir. Ia melihat
sekelilingnya. Ya. Lingkungan itu tak asing baginya. “rumahku dekat sini kok…
masuk ke gang ini juga…”
“oh , baiklah”
Vigna hanya membalasnya dengan
senyum dan anggukan.
Baru beberapa
langkah Vigna melangkahkan kaki menuju rumahnya, ia mendengar suara mobil
berderu kencang, lalu suara rem yang memekakkan telinga, disusul suara seperti
tabrakan antara mobil dan orang, dan serangkaian suara gaduh itu di akhiri
suara mobil yang melaju kencang. Melarikan diri.
“Aldo?” ucap Vigna.
Ia berlari menyusuri gang sempit itu lagi, berjalan menuju jalan raya, dan…. Ia
melihat Aldo sudah terbaring disana dengan darah bercucuran di pelipis
kanannya.
“oh, tidak…”
~***~
Setelah Vigna
menghubungi ambulans dan membawa Aldo ke rumah sakit terdekat, ia menunggu Aldo
di ruang tunggu. Berkali-kali ia menggerak-gerakkan kakinya, berusaha
menghilangkan rasa paniknya. Tapi tak berhasil.
“kenapa aku sepanik ini?” gumamnya.
“bukankah aku baru mengenalinya?”
Vigna melihat perawat yang
menangani Aldo keluar ruang UGD. Ia bergegas menghampirinya.
“E… ba….”
“bagaimana keadaan adikku Suster?”
Ada yang mendahului Vigna berbicara.
Lelaki tinggi, rambut disisir menyamping, tampan. Vigna hanya terpaku karena
didahului orang lain dalam hal ini. Ia hanya terdiam mendengarkan penuturan
perawat dengan seksama.
“terjadi pendarahan di kepalanya.
Tapi sudah kami tangani. Untuk keterangan lebih lanjut, bisa anda tanyakan pada
dokter nantinya.”
“baik. Trimakasih…” ucap lelaki itu
sangat santun. Lalu, saat perawat memalingkan diri, lelaki itu kembali
menanyakan sesuatu hal pada perawat itu. “eh, iya, siapa yang mengantarkan
adikku ke rumah sakit ini?”
Perawat itu melihat Vigna sekilas,
lalu memberitahu lelaki itu, “nona yang memakai jaket abu-abu dan topi hitam
itu, tuan.”
“baik, sekali lagi terimakasih.”
Perawat itu berlalu. Dan, kakak
Aldo itu berjalan menghampiri Vigna. “trimakasih ya…”
Vigna hanya mengangguk pelan sambil
menyunggingkan seyuman manis nya.
“ayo duduk…”
Vigna pun duduk.
“namaku Renald. Siapa namamu?”
“Vigna” jawab Vigna singkat
“oh nama yang manis” Vigna hanya
tersenyum
Renald menghela nafas berat, seolah
berusaha melepaskan seluruh beban hidupnya. “semoga dia tak apa ya?”
Sekali lagi, Vigna hanya
mengangguk.
Beberapa saat menunggu, dokter yang
menangani Aldo pun keluar dari UGD.
“dokter” Renald segera
menghampirinya. “bagaimana keadaan adik saya?”
Dokter itu hanya menghela nafas,
lalu berkata, “berat mengatakannya tuan….”
“kenapa?”
“benturannya sangat keras hingga ia
mengalami amnesia….”
“maksudnya….”
Dokter itu mengangguk cepat, seolah
tahu apa yang akan dikatakan Renald. “lupa ingatan.”
Renald terlihat kesal akan
kenyataan. “baiklah. Boleh aku menjenguknya?”
Dokter itu hanya
mengangguk, lalu berpaling. Sebelum Renald masuk ruangan, ia menghubungi orang
tuanya untuk segera menjenguk Aldo di rumah sakit.
“Vigna… kau mau menjenguknya?”
Renald mengajaknya.
“Bolehkah?” ucap Vigna ragu.
“kalau tidak boleh, mengapa aku
menawarkannya?”
Vigna mengangguk, lalu mengikuti
Renald memasuki ruang UGD.
“siapa kalian?” tanya Aldo.
Dilanjutkan beberapa pertanyaan yang membuat Renald dan Vigna bingung
menjawabnya.
“Aldo….” Mereka menoleh ke arah
pekikan suara yang terdengar parau itu. “apa yang terjadi padamu nak??”
Renald dan Vigna menjauh dari Aldo,
memberikan ruang gerak yang leluasa bagi ayah dan ibu Aldo,
“kalian siapa? Aku tidak ingat apa-apa….”
Ucap Aldo.
Ibu Aldo menangis
sejadi-jadinya. Ayah Aldo hanya menatap anak bungsunya Pilu.
“dasar!!” ucap Renald lirih. “kalau
sudah begini, baru mau datang!! Apa aku harus kecelakaan dan lupa ingatan juga
supaya dapat perhatian?? Kalian orang tua macam apa??”
“apa?” ucap Vigna ketika mendengar
gumaman Renald. “kau tadi bilang apa?”
“ah, tidak,” Renald mengalihkan
perhatian. “ayo kita cari angin, kita beri mereka waktu untuk merenungi
keadaan.”
“ya.” Vigna dan Renald pun keluar
ruangan, membiarkan Aldo bersama dengan kedua orang tuanya.
~***~
“Ahh!!!” Vigna berteriak spontan
ketika pipinya merasakan dingin. ketika Renald menempelkan kaleng minuman yang
baru ia beli ke pipi Vigna. Renald tersenyum nakal.
“untukmu.”
Vigna menerimanya, lalu membuka kaleng
minumannya. “trimakasih.”
Mereka pun duduk di teras depan
Rumah sakit itu.
“mau kuceritakan cerita menarik?”
tanya Renald.
“boleh…” ucap Vigna.
“tapi, jangan ceritakan ini pada
orang lain. Cerita ini hanya diketahui oleh aku, Aldo, dan kau.”
Vigna terlihat bingung, tapi ia
menjawabnya dengan anggukan.
“hubunganku dan Aldo sangat akrab
dari dulu. Kami seperti kembar walaupun bukan kembar. Kami tak terpisahkan.
Namun semuanya berubah saat aku kelas 6 SD. Saat itu Aldo masih kelas 4 SD.”
“kenapa?”
“ya. Ayah sibuk dengan
pekerjaannya, ibu juga sibuk dengan pekerjaannya. Lalu, sering terjadi
pertengkaran hebat di antara mereka. Dan, pada suatu ketika, Ayah menampar
ibu.”
Refleks, Vigna memegang pipinya.
“dan, merekapun cerai. Aku ikut Ayah,
Aldo ikut ibu. Seperti yang kuceritakan tadi, aku dan Aldo sangat akrab. Begitu
harus berpisah, kami merasa hampa karena kami terbiasa mengisi satu sama lain.”
Vigna merasa iba.
“maka dari itu, kami hidup dengan
penuh putus asa. Aldo ikut balapan liar, sering menghamburkan uang demi
narkoba, dan semacamnya. Tapi dia sudah keluar dari rehabilitasi dan memutuskan
untuk kembali ke jalan yang benar.”
“kau sendiri… pernah seperti itu?”
“tentu saja pernah. Aku juga sering
ke club malam, bermain dengan wanita….” Renald tersenyum. “tapi itu juga sudah
berakhir. Aldo yang menyadarkanku. Entah kenapa, ia jadi berubah setelah keluar
dari rehabilitasi. Yah,… aku bangga padanya karena sekarang ia sudah berubah
menjadi lebih dewasa. Tapi… setelah ia berubah menjadi dewasa seperti itu, ia
malah amnesia.”
Vigna dan Renald menghela nafas
berat bersama. Menyadari hal itu, keduanya tertawa.
Lalu, Vigna bertanya, “kenapa kau
menceritakan cerita pilu ini padaku?”
“Entahlah,” Renald meminum
minumannya, lalu berucap, “kelihatannya kau orang yang baik…”
Vigna hanya menjawabnya dengan
senyuman.
“bagaimana denganmu?” tanya Renald.
“pernah mengalaminya?”
“untungnya, tidak pernah….”
“ya.. hanya segelintir orang yang
mengalami nasib seperti kami. Kau harus bersyukur karena memiliki orang tua
yang sayang padamu..” potong Renald.
“bukan… bukan begitu,” sergah Vigna.
“aku tak pernah mengalaminya karena aku tak punya orang tua. Aku yatim piatu,
dibesarkan di panti asuhan. Sekalinya mendapat orang tua asuh, mereka orang
yang tak beres.”
“oh… maaf… aku tidak tahu.”
“tak apa,” Vigna kembali tersenyum.
“besok, jangan lupa jenguk Aldo
ya?”
“kenapa?” Vigna heran. “aku baru
kenal dengannya. Bahkan dia amnesia. Buat apa aku menjenguknya?”
“setelah di rehabilitasi, ia selalu
berteman dengan orang baik.”
“jadi, menurut kau, aku orang yang
baik?”
Renald menjawabnya dengan anggukan.
Ia menghirup angin malam, lalu mengangkat wajahnya, menatap cahaya bintang di
langit.
“cahayanya indah ya?”
Vigna mengangkat wajahnya, menatap
bintang di langit pula. Ia tersenyum dan menjawab, “ya.”
~***~
Renald menjaga
adiknya semalaman. Ia tidur di samping adiknya, sambil memegangi tangannya.
“kakak” ucap Aldo lirih.
Renald terbangun dari tidurnya,
lalu menatap wajah adiknya. “kau sudah sadar?” Renald membersihkan matanya.
“aku ingat semuanya.”
“Hah??!!” Renald terperanjat kaget.
“maksudnya?”
“namamu Renaldi kan? Namaku
Rinaldo, biasa di panggil Aldo. Kita berada dalam keluarga yang hancur kan?”
Renald termenung. Suaranya tercekat
di tenggorokan. Ia menelan ludah. “kenapa?”
“aku tidak tahu.” Ucap Aldo. “aku
sangat ingin kehilangan ingatanku. Aku ingin membuang semuanya yang ada
dipikiranku akan masa laluku yang kelam. Tapi ternyata, aku tidak melupakannya.
Semua masih membekas dalam pikiranku dengan jelas.”
“tapi, kenapa dokter bilang…”
“aku yang menyuruhnya bilang
begitu. Supaya orang tua kita bisa tahu, mereka telah gagal menjadi orang tua
yang baik,” Aldo berhenti sejenak. “mereka hanyalah pecundang.”
“Aldo” Ucap Renald. “jangan begitu.
Mereka orang tua kita.”
“bagaimana menurut kakak tentang
orang tua kita? Dengan suara keras mereka bertengkar, mementingkan ego
masing-masing, tak peduli anaknya yang masih kecil menangis tersedu-sedu saat
mendengar teriakan mereka. Mereka kalah dengan ego masing-masing. Mereka tak
bisa menahan diri. Mereka tak mampu berpikir, ‘bagaimana jika anakku terluka
karena pertengkaran kami?’ atau ‘bagaimana jika mereka membenci kami karena
ke-egois-an kami?”
“kau tidak tahu….”
“ya, mungkin aku tidak tahu,” ucap
Aldo memotong perkataan Renald. “tapi ini yang aku rasakan, kak. Aku membenci
mereka. Bukankah, kau juga membenci mereka?”
“ya.”
Mereka termenung. Suasana hening.
~***~
“Vigna….” Ucap Renald, melihat Vigna datang ke
rumah sakit untuk menjenguk Aldo. Sekitar jam 4 sore.
Vigna hanya tersenyum sambil melambaikan
tangan, lalu berlari menghampirinya.
“masuklah… Aldo mencarimu…” Renald
tersenyum menggoda.
“apa?” Vigna heran. “mencariku?”
Renald mengangguk.
Vigna memasuki
ruangan. Ia melihat Aldo duduk di ranjangnya sambil mengupas apel. Vigna
termenung, berdiri terpaku. “ternyata, ia tampan ya?” gumamnya.
Beberapa saat,
Aldo menyadari keberadaannya. Ia melihat kearah pintu, dan menemukan Vigna
mematung di depannya. Ia memberikan senyuman manisnya untuknya. “kenapa
mematung di situ? Sini…”
Terbuyarkan lah lamunan Vigna. Ia
pun mendekati Aldo. Duduk disampingnya. “kau mencariku?”
“ya. Sebentar….” Aldo
memotong-motong buah apel itu menjadi 8 bagian, menaruhnya di piring kecil,
lalu memberikannya pada Vigna. “ambillah….” Ia juga mengambil salah satu apel
itu dan memakannya.
Vigna hanya
mengangguk sambil tersenyum tipis.
“aku ingat semuanya…”
“apa?”
“aku ingat semuanya. Namamu Vigna
kan? Nama asliku Rinaldo, nama kakak ku Renald… aku juga berasal dari keluarga
yang hancur…”
“ah.. jangan bergurau…” Vigna
tersenyum mengejek, tak percaya.
“aku juga masih ingat bagaimana
kita bertemu….” Aldo berusaha meyakinkan. “bagaimana?” tantang Vigna.
“aku dikejar-kejar oleh 5 mobil di
jalan raya,… tengah malam itu. Lalu kau menolongku, menarik tanganku menuju
gang kecil. Saat aku keluar, aku di tabrak oleh temanku balap mobil yang
memakai mobil putih. Iya kan?”
“bagaimana mungkin?” Vigna masih
tak percaya. “kata dokter, kau….”
“aku menyuruhnya berbicara begitu.”
Ucap Aldo santai.
“hei… semua orang
mengkhawatirkanmu….”
“biarkan. Biar orang tuaku tahu,
mereka telah gagal menjadi orang tua yang baik. Mereka tak pernah memperhatikan
anaknya penuh kasih sayang… “
“bodoh!!” ucap Vigna. “bagaimana
jika kau benar-benar lupa ingatan?? Kau ingin itu terjadi?? Hah??”
“kalaupun sungguhan lupa juka tak
apa. itu yang ku inginkan.” Ucap Aldo dengan ekspresi wajah datar. “kau tahu
apa yang ku ucapkan dalam hatiku, sesaat sebelum aku tak sadarkan diri pada
kecelakaan malam itu?”
Vigna hanya diam.
“yang aku ucapkan adalah,
‘terimakasih Tuhan, kau telah membantu keinginanku terwujud…. Untuk dapat
melupakan kenangan pahit keluargaku’. Itu yang aku ucapkan penuh rasa syukur
tadi malam.” Aldo menghela nafas berat. “tapi, saat aku sadar… aku malah masih
ingat semuanya… aku sangat kecewa.”
“tapi.. jangan begitu… kau harus
mau memaafkan mereka… bagaimanapun juga… mereka hanya manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan.. mereka tetap orang tuamu… harusnya kau bersyukur, masih
mempunyai orang tua yang sayang padamu….”
“ya.. benar… tapi jika kau menjadi
aku, atau kau menjadi kakak ku… kau akan memilih menjadi yatim piatu daripada
memiliki orang tua seperti mereka.”
“apa kau tak takut jika orang tuamu
tahu hal ini dan memarahimu?”
“tak apa mereka tahu, yang penting
aku tak akan membiarkan mereka memarahiku. Yang pantas dimarahi atas kejadian
seperti ini bukan aku, tapi mereka. Yang membuat aku dan kakak berbuat hal baik
itu bukan diri kami sendiri, tapi mereka. Kalaupun kami punya mesin waktu, dan
kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semua, itu jelas tak mungkin. Semua
sudah berubah.”
“setidaknya satu hal yang tidak
boleh berubah….” Ucap Vigna pelan. “kau harus tetap berada di jalanmu… jangan
ubah dirimu untuk menjadi orang lain…”
Aldo diam. Ia
berusaha meresapi kalimat yang di ucapkan Vigna. Saat itu, Vigna mengambil
sepotong apel di piring kecil, lalu memakannya.
~***~
Perban kecil masih
terbelit di pelipis kanan Aldo di hari kepulangannya. Ayah dan ibunya serta
Renald mengantarnya pulang ke rumah ibunya.
“Renald….” Ucap ibunya lembut.
“ya?”
“khusus hari ini, menginaplah di
rumah mama… temani adikmu itu….”
Renald menatap
sekilas adiknya yang duduk di jok belakang, di samping ibunya, lewat kaca
spion. Aldo hanya memberi tanda anggukan.
“baiklah , papah tak apa kan?”
Ayah Renald yang sedang menyetir itu
hanya diam. Beberapa saat, ia hanya menjawab dengan anggukan.
Mobil berwarna
hitam itu melaju dengan pesat. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di rumah
ibu mereka. Saat ayah mereka akan pulang, Renald dan Aldo mencegahnya. “Papah”
Ia pun membalikkan badan, menatap
mereka.
“jangan pulang dulu…” ucap Renald.
“apa salahnya singgah sementara waktu di rumah mantan istrinya?”
“tapi….”
“Demi Aldo…” Renald berusaha
meyakinkan. Akhirnya, Ayah dan ibu mereka luluh. Ayah mereka memasuki rumah
mantan istri nya. Renald mendudukkan mereka berdampingan di sofa panjang di
ruang keluarga.”
“sudah bisa kau mulai….” Ucap
Renald pada adiknya. Aldo hanya mengangguk, lalu berdiri di depan mereka, mulai
berbicara.
“pah… mah… sebenarnya, aku tidak
Amnesia…”
“apa maksudmu, nak?” tanya Ayah nya.
“aku benar-benar ingat semuanya.
Aku lahir tahun 1990, sementara kakak lahir tahun 1988, dulu kami sekolah di SD
yang sama, aku juga ingat. papah alergi Keju, mamah alergi udang. Aku jga masih
ingat bagaimana kalian berdua bertengkar….”
Aldo menarik nafas dalam-dalam…
Lalu mengeluarkannya pelan. “aku juga masih ingat dengan perselingkuhan yang
telah kalian berdua lakukan…..”
“cukup Nak!!!” Kata ayah nya
berkata dengan nada tinggi. “cukup!!!”
“kenapa kau lakukan ini, Aldo?” ucap
ibu mereka lembut. “kau sudah membuat semua orang khawatir.”
“oh.. jadi kalian masih bisa peduli
dengan anaknya? Bagus kalau begitu…”
“Rinaldoo!!!” Ayah nya berusaha
menahan amarah. “mulai kapan kau kurang ajar dengan orang tua seperti ini??”
“sejak papah dan mamah hanya
mementingkan diri sendiri, mengabaikan anak-anaknya yang kini telah tumbuh
dewasa, yang sudah mengerti betul apa arti kebencian yang sesungguhnya karena
terbiasa melihat kekesalan dan amarah yang selalu terjadi dan terlihat di kedua
mata kami. Karena ulah kalian…”
“berhenti omong kosong!!” ucap Ayah
nya lagi.
“oh ya… pertanyaan mamah belum ku
jawab. Kenapa kulakukan hal bodoh seperti ini? Ini karena papah dan mamah yang
tak pernah memberi kami kasih sayang yang lebih. Aku hanya ingin memberitahu
kalian, bahwa kalian telah gagal menjadi orang tua yang baik. Aku harap, jika
aku Amnesia, aku bisa melupakan kebencian di masa lalu. Aku juga
berharap, kalian bisa merenungi
kesalahan kalian, akibat dari itu semua kalian telah membuat kami, anak-anak
kalian, berubah menjadi lebih buruk. Itu yang ingin aku lakukan. Tapi, nyatanya
aku tidak Amnesia, bahkan kalian malah bertengkar lagi, dan masih saja
mengedepankan ego masng-masing, tak mau mengakui kesalahan masing-masing….”
“harusnya kau tegur kami dengan
baik nak… tak perlu berbohong seperti ini…” ibu nya menangis.
“kami sudah sering melakukannya,”
kini Renald membantu adiknya. “tapi, kalian selalu menganggap kami adalah anak
kecil yang tak perlu ikut campur urusan orang tua.”
“tapi….”
“karena kalian, kami sudah hampir
kehilangan akal sehat kami. Semuanya terasa buruk di mata kami…”
“Ya…” ucap Aldo lirih. “We lost our mind… Because of You all….”
Ayah nya hanya diam. Orang yang
hatinya keras itu kini menitikkan air mata. Ia menggenggam tangannya, berusaha
menguatkan hatinya. Suasana hening. Yang terdengar jelas hanyalah suara isak
tangis ibu mereka. Aldo dan Renald bertatapan.
“semoga ini berhasil….” Ucap Renald
hanya dengan menggerakkan bibirnya, tanpa suara bisikan. Aldo membalasnya
dengan anggukan, “semoga..”
~***~
“bagaimana kemarin?
Sukses?” tanya Vigna saat berjalan berdua dengan Aldo di taman kota sambil
menjilati Es Krim rasa strawberry
kesukaannya.
“ya… sukses besar.
Mereka mengucapkan kata maaf pada kami, lalu saling bermaafan, dan akhirnya rujuk…”
ucap Aldo berseri-seri.
“Wooaahh… Selamat
ya…” Senyum Vigna mengembang dengan manis di bibirnya yang merah.
“ya… tanpa rencanamu
yang menyuruhku mengakui semua kebohongan yang aku lakukan, mungkin tu tak akan
terjadi.”
“dan jangan lupa
saat itu aku menolong mu sampai ban sepeda ku bocor” ucap Vigna sambil
mengerucut kan bibir nya.
“Ah,ya… itu juga…”
jawab Aldo sambil menyentilkan jari lentik nya kehidung Vigna
Vigna tertawa.
“ya.. trimakasih
juga telah menyadarkanku.. bahwa aku harus menjadi diriku sendiri.. bukannya
menjadi orang lain dengan cara berpura-pura menjadi amnesia seperti ideku
semula. Untung saja aku bertemu denganmu. Aku senang, bisa di limpahi
kebaikanmu….”
Vigna mengangguk
sambil tersenyum. “untungnya semua berakhir dengan baik.”
“ya… tapi masih ada
sesuatu yang membuatku bingung….” Ucap Aldo.
“apa?”
Aldo tersenyum, “I wanna
say I love you” dan langsung
memberikan Vigna sebuket bunga mawar merah segar. Yang tanpa diketahui Vigna
bunga itu dibawa Aldo sejak tadi.
Pipi Vigna memerah.
Ia tersenyum malu. Aldo melihat Vigna yang salah tingkah itu tertawa.
“jangan tertawa!!”
pekik Vigna.
“iya iya… maaf….”
Ucap Aldo.
“tapi.. benarkah
itu?” tanya Vigna.
Aldo menatap mata
Vigna dalam. Mata yang bulat nan hitam itu yang dulu membuatnya jatuh cinta
pada pandangan pertama. “ehm….”
Vigna membalas
tatapan mata itu, dengan tatapan mata berharap, menunggu-nuggu jawaban yang
membuatnya penasaran.
Aldo mengecup kening
Vigna, lalu tersenyum pada Vigna, dan berkata, “ya….”
Aldo berjalan cepat
mendahului Vigna, membiarkan Vigna berdiri mematung di tempatnya. Vigna masih
kaget dengan kecupan itu. Ia hanya terdiam, beberapa saat kemudian, tersenyum.
Vigna memutuskan
untuk mengejar Aldo, “hey… tunggu…”
Aldo berhenti berjalan , yang
membuat badan Vigna Menubruk nya sehingga mereka hampir terjatuh. Suasana
menjadi canggung. “ Jawaban nya apa? “ tanya Aldo berusaha mencairkan suasana “I love you too“ senyum manis kembali
mengambang di bibir Vigna , yang membuat Aldo tertawa.
END
Selesai ditulis tanggal : 21/02/14 08.00 p.m
Tidak ada komentar:
Posting Komentar